Beranda | Artikel
Safinatun Naja: Yang Diharamkan bagi yang Berhadats
Sabtu, 4 Desember 2021

Kali ini adalah serial kelima dari pembahasan Safinatun Naja mengenai yang diharamkan bagi yang berhadats

 

[Yang Diharamkan Bagi yang Berhadats]

مَنِ انْتَقَضَ وُضُوْءَهُ حَرُمَ عَلَيْهِ أَرْبَعَةُ أَشُيَاءَ:

1- الصَّلاَةُ.

وَ2- الطَّوَافُ.

وَ3- مَسُّ الْمُصْحَفِ.

وَ4- حَمْلُهُ.

Siapa yang batal wudhunya maka dia diharamkan 4 hal, yaitu [1] shalat, [2] thawaf, [3] memegang mushaf, dan [4] membawanya.

Faedah:

  • Shalat yang dilarang adalah shalat fardhu maupun shalat sunnah, termasuk pula shalat jenazah. Yang dikecualikan dalam hal ini adalah orang yang luput dari dua bentuk bersuci dan orang yang berhadats terus menerus.
  • Thawaf keliling Kabah juga dilarang bagi orang yang berhadats.
  • Memegang mushaf dilarang pula bagi orang yang batal wudhunya sampai ia berwudhu. Yang termasuk di sini adalah kulit mushaf jika bersambung atau ada kantongnya jika itu bagian terpisah tetapi dianggap bagian dari mushaf.
  • Larangan bagi orang yang batal wudhunya lagi adalah larangan membawa mushaf. Jika itu bersama perbekalan dan ada mushaf, yang dimaksudkan adalah membawa perbekalan, maka tidaklah haram.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram).” (HR. Muslim, no. 224. Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan dalam Syarh Shahih Muslim bahwa ghulul berarti khianat, aslinya adalah harta curian dari ghanimah—yaitu harta rampasan perang—sebelum dibagi).

Adapun thawaf dipersyaratkan suci dari hadats, disebutkan dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الطَّوَافُ حَوْلَ الْبَيْتِ مِثْلُ الصَّلاَةِ إِلاَّ أَنَّكُمْ تَتَكَلَّمُونَ فِيهِ فَمَنْ تَكَلَّمَ فِيهِ فَلاَ يَتَكَلَّمَنَّ إِلاَّ بِخَيْرٍ

“Thawaf mengelilingi Kabah itu seperti shalat. Namun dalam thawaf kalian boleh berbicara. Barangsiapa yang berbicara ketika thawaf hendaklah ia berbicara dengan perkataan yang baik.” (HR. Tirmidzi, no. 960. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dilarang menyentuh mushaf bagi yang berhadats, juga membawanya.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (QS. Al-Waqi’ah: 79)

Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ

“Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).

Catatan:

  1. Menurut madzhab Syafi’i, diharamkan bagi yang berhadats membawa mushaf Al-Qur’an, karena menyentuhnya itu dilarang, maka membawanya jelas lebih tidak boleh. Dilarang juga menyentuh lembarannya, dilarang juga membawa menggunakan tas kantong, atau membawanya di atas kepala. Namun, masih boleh meletakkan mushaf di depannya lalu membuka lembarannya dengan menggunakan suatu batang atau pena, karena tidak menyentuh langsung, juga bukan disebut membawa mushaf tersebut. Sedangkan membawa mushaf bagi yang berhadats dengan tumpukan barang, dibolehkan. Lihat Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 1:90.
  2. Kitab tafsir selama bahasan tafsir lebih banyak atau sama dengan isi Al-Qur’an, maka tidaklah masalah membawanya dalam keadaan berhadats. Lihat Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 1:90.
  3. Masih boleh membaca Al-Qur’an tanpa menyentuhnya bagi yang berhadats. Ada ijmak (kesepakatan ulama) bagi yang berhadats boleh membaca Al-Qur’an. Yang menyatakan ijmak ini adalah Ibnu ‘Abdil Barr, Al-Qadhi ‘Iyadh, Imam Nawawi, dan Ibnu Taimiyyah. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 72.
  4. Anak kecil mumayyiz (yang sudah tamyiz) masih boleh menyentuh mushaf Al-Qur’an untuk belajar dan menghafal walaupun tidak dalam keadaan suci. Hal ini menjadi pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 73.

 

[Yang Diharamkan Bagi Orang Junub]

 

وَيَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ سِتَّةُ أَشْيَاءَ:

1-الصَّلاَة.

وَ2- الطَّوَافُ.

وَ3- مَسُّ الْمُصْحَفِ.

وَ4- حَمْلُهُ.

وَ5- اللُّبْثُ فِيْ الْمَسْجِدِ.

وَ6- قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ.

Orang junub diharamkan 6 hal, yaitu: [1] shalat, [2] thawaf, [3-4] memegang mushaf dan membawanya, [5] berdiam diri di masjid, dan [6] membaca Al-Qur’an.

 

Faedah:

  • Yang dimaksud junub adalah (1) siapa saja yang memasukkan hasyafah (puncak dzakar) ke dalam farji (vagina), atau dimaksukkan ke dalamnya; atau (2) keluar mani; kedua keadaan junub ini menjadikan wajib mandi.
  • Janabah sendiri secara bahasa berarti bu’dun (jauh), berarti jauh dari shalat.
  • Ada enam hal yang dilarang bagi orang junub, empat hal sudah disebutkan pada orang berhadats, dua hal itu tambahan.
  • Orang junub dilarang diam atau bimbang di dalam masjid. Ini berlaku bagi muslim, bukan nabi, bukan orang yang diberi uzur (seperti ingin menutup pintu, takut jika keluar dari masjid). Untuk yang diberi uzur (dalam keadaan junub) tadi hendaklah pada saat itu mengambil tayamum dengan debu.
  • Orang yang junub tidak boleh pula membaca Al-Qur’an untuk maksud murni qiraah (membaca, tilawah) atau bersama lainnya. Hal ini berbeda jika membacanya untuk maksud lain.

 

Diam di masjid bagi orang yang junub

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisaa’: 43)

Kebanyakan (baca: jumhur) ulama melarang orang junub berdiam lama di masjid.

 

Para ulama empat madzhab sepakat bahwa haram bagi orang yang junub membaca Al-Qur’an. Dalil pendukungnya adalah hadits berikut dari ‘Ali bin Abi Thalib,

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ لا يَحْجُبُهُ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ شَيْءٌ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ جُنُبًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang dari membaca Al-Qur’an sedikit pun juga kecuali dalam keadaan junub.” (HR. Ibnu Hibban, 3:79; Abu Ya’la dalam musnadnya, 1:400. Husain Salim Asad menyatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

  1. Orang junub hendaklah tidak membaca sedikit pun dari Al-Qur’an hingga ia mandi junub. Inilah pendapat jumhur ulama.
  2. Orang junub bisa segera menghilangkan hadats.

Catatan:

Wanita haidh boleh membaca Al-Qur’an. Itu hukum asalnya, sampai ada dalil yang menyatakan wanita haidh haram untuk membaca Al-Qur’an. Yang tepat, dalil tegas mengenai larangan wanita haidh membaca Al-Qur’an tidak ada. Adapun pengqiyasan (penyamaan) terhadap orang junub tidaklah tepat karena antara wanita haidh dan orang junub ada perbedaan. Sebagian ulama menyatakan boleh bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an jika ada kebutuhan seperti karena sudah punya rutinitas (al-awrad) atau ia adalah pengajar Al-Qur’an. Namun, yang paling tepat adalah wanita haidh masih boleh membaca Al-Qur’an secara mutlak.

 

[Yang Diharamkan Bagi Wanita Haid]

 

وَيَحْرُمُ بِالْحَيْضِ عَشَرَةُ أَشْيَاءَ:

1- الصَّلاَةُ.

وَ2- الطَّوَافُ.

وَ3- مَسُّ الْمُصْحَفِ.

وَ4- حَمْلُهُ.

وَ5- اللُّبْثُ فِيْ الْمَسْجِدِ.

وَ6- قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ.

وَ7- الصَّوْمُ.

وَ8- الطَّلاَقُ.

وَ9- المُرُوْرُ فِيْ المَسْجِدِ إِنْ خَافَتْ تَلْوِيْثَهُ.

وَ10- الاسْتِمْتَاعُ بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.

 

Wanita haidh diharamkan 10 hal, yaitu [1] shalat, [2] thawaf, [3-4] menyentuh mushaf dan membawanya, [5] berdiam diri di masjid, [6] membaca Al-Qur’an, [7] puasa, [8] talak, [9] melewati masjid jika takut mengotorinya, dan [10] istimta’ (bercumbu) di sekitar daerah antara pusar dan lutut.

 

Faedah:

  • Talak itu artinya memutus akad nikah dengan lafazh talak dan semacamnya. Talak tidak boleh dijatuhkan pada masa istri haidh. Talak boleh dilakukan pada masa suci sebelum disetubuhi.
  • Wanita haidh di sini dilarang melewati masjid (jika khawatir mengotorinya), yaitu masuk dari pintu dan keluar dari pintu.
  • Suami dilarang melakukan istimta’ saat istrinya haidh. Istimta’ artinya (1) bercumbu dengan istri antara daerah pusar dan lutut atau (2) menyentuh istri dengan syahwat tanpa pembatas.
  • Puasa dan melewati masjid lantas mengotorinya, ini dilarang pada wanita haidhnya.
  • Sedangkan talak dan istimta’ dilarang bagi suami pada wanita haidh.
  • Sepuluh hal tadi dilarang bagi wanita haidh sampai ia mandi atau tayamum. Khusus untuk puasa dan talak dibolehkan bila darah wanita haidh sudah berhenti.
  • Bersuci dengan niatan ibadah ini adalah hal ke-11 yang dilarang.

 

اَلْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلَا جُنُبٍ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَة َ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidaklah membolehkan wanita haidh dan yang junub berada di masjid.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah) [HR. Abu Daud, no. 232 dan Ibnu Khuzaimah, no. 1327. Para ulama berselisih pendapat mengenai kesahihan hadits ini dan bagaimana berdalil dengannya. Hadits ini disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar di sini. Al-Baihaqi menyatakan hadits ini dhaif].

 

Faedah hadits

Hadits ini yang dijadikan dalil bahwa wanita haidh dan junub tidak boleh berdiam di masjid. Inilah pendapat jumhur ulama dari ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah, ulama Syafiiyah, dan menjadi pendapat ulama Hambali terkait masalah haidh.

Dalil jumhur ulama adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekadar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An-Nisaa’: 43). Ayat ini ada perselisihan pendapat di antara para ulama apakah yang dilarang itu shalatnya ataukah yang dilarang adalah berdiam di masjid dalam keadaan junub. Pendapat yang menyatakan dilarang berdiam di masjid bagi orang junub dipilih oleh kebanyakan tabi’in seperti Sa’id bin Al-Musayyib, Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i. Pendapat ini juga dianut oleh Imam Syafii.

Jumhur ulama mengqiyaskan wanita haidh dengan orang junub. Wanita haidh lebih-lebih dilarang mendekati masjid karena hadatsnya lebih berat. Wanita haidh bukan hanya dilarang shalat dan gugur shalatnya, tetapi juga dilarang puasa. Sedangkan orang junub masih diperintahkan puasa dan diperintahkan shalat ketika sudah mandi.

Pendapat kedua dari kalangan ulama Zhahiriyah, begitu juga pendapat Ibnul Mundzir, dan Imam Al-Muzani, mereka membolehkan wanita haidh dan orang junub masuk dan berdiam di masjid.

Pendapat ketiga dari pendapat Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa boleh berdiam di masjid untuk orang junub saja jika dalam keadaan memiliki wudhu karena yang dimaksud ayat di atas adalah dilarang mengerjakan shalat untuk orang junub.

Sebab perbedaan pendapat ini adalah karena:

  1. Tafsiran surah An-Nisaa’ ayat 43 apakah yang dilarang bagi orang junub adalah dilarang shalat ataukah dilarang berdiam di masjid.
  2. Perbedaan dalam pensahihan dan pendhaifan hadits.

Kesimpulan hukum wanita haidh dan orang junub masuk masjid

  1. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang junub tidak boleh berdiam di masjid, hanya boleh melewati saja. Larangan ini berdasarkan surah An-Nisaa’ ayat 43. Yang dimaksud ayat, janganlah mendekati shalat adalah janganlah mendekati tempat shalat yaitu masjid.
  2. Tidaklah ada hadits yang melarang wanita haidh memasuki masjid kecuali hadits yang dikaji kali ini. Sedangkan pengqiyasan wanita haidh dengan orang junub tidaklah tepat karena orang junub masih bisa segera bersuci. Sehingga pendapat yang tepat, wanita haidh masih boleh berdiam di masjid, yang penting tidak mengotori masjid.
  3. Jika wanita haidh sekadar lewat saja atau mengambil sesuatu di masjid, hukumnya boleh.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

نَاوِلِيْنِى الخُمْرَةَ مِنَ الْمَسْجِدِ. فَقُلْتُ: إِنِّيْ حَائِضٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ حَيْضَتَكِ لَيْسَتْ فِى يَدِكِ.

Ambilkan untukku khumrah (sajadah kecil) dari masjid.” “Sesungguhnya aku sedang haid”, jawab ‘Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sesungguhnya haidhmu itu bukan atas kuasamu.” (HR. Muslim, no. 298).

 

Berjimak ketika haidh

Para ulama sepakat bahwa menyetubuhi wanita haidh di kemaluannya dihukumi haram.

Allah Ta’ala berfirman,

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami haidh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung agar menutupi tempat memancarnya darah haidh, kemudian beliau tetap mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian yang bisa menahan hasratnya (untuk berjimak) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?”   (HR. Bukhari, no. 302 dan Muslim, no. 293).

 

Mentalak saat haidh

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ، ثُمَّ تَطْهُرَ ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ ، فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ

“Hendaklah ia merujuk istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya (menyetubuhinya). Itulah al ‘iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Bukhari, no. 5251 dan Muslim, no. 1471)

 


Artikel asli: https://rumaysho.com/31057-safinatun-naja-yang-diharamkan-bagi-yang-berhadats.html